Pembagian Jiwa Manusia
Menurut Al Quran
Ketika kita menelaah
ayat-ayat Alquran, kita temukan ayat-ayat tersebut menunjukkan berbagai keadaan
jiwa manusia dan menamainya dengan nama-nama yang berbeda, yaitu sebagai
berikut.
1.Al-Ammarah bi as-su. Allah
SWT berfirman: Dan aku tidak membebaskan diriku [dari kesalahan], karena
sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pda kejahatan, kecuali nafsu yang diberi
rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
QS Yusuf [12]:53 Al-Ammarah bi as-su adalah yang dilalui jiwa yang mengikuti
hawa nafsunya. Allah SWT berfirman: Terangkanlah kepadaku tentang orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan-nya. Lalu, apakah kamu dapat menjadi
pemelihara atasnya ? QS al-Furqan [25]: 43 dan firman-Nya: Maka, jika mereka
tidak menjawab [tantanganmu], ketahuilah, bahwa sesungguhnya mereka hanyalah
mengikuti hawa nafsu mereka [belaka]. Dan siapakah yang lebih sesat daripada
orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah
sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zalim. QS al-Qashash [28]: 50.
2.Al-Lawwamah. Allah SWT
berfirman: Aku bersumpah dengan Hari Kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang
amat menyesali (an- nafs al-lawwamah). QS al-Qiyamah [75]: 1-2 Yang dimaksud
dengan an-nafs al-lawwa- mah adalah jiwa orang Mukmin yang mencelanya di dunia
atas kemaksiatan, memandang berat ketaatan, dan memberinya manfaat pada Hari
Kiamat. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jil.20, hal.103
3.Al-Muthma'innah. Allah SWT
berfirman: Hai jiwa yang tenang (an-nafs al-muthma'innah)! Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang ridha dan didiridhai-Nya. Maka, masuklah ke dalavi
kelompok hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. QS al-Fajr [89]: 28-30
An-Nafs al-muthma'innah
adalah yang senang kepada Tu-hannya dan ridha terhadap apa yang diridhai-Nya.
Oleh karena itu, ia melihat dirinya sebagai seorang hamba yang tidak me-miliki
sedikit pun kebaikan, kejahatan, manfaat, atau bahaya bagi dirinya. Ia melihat
dunia sebagai negeri metafora. Apa yang diperolehnya di dunia itu berupa
kekayaan, kefakiran, atau manfaat dan bahaya merupakan ujian dan cobaan
baginya. Ber-limpahnya kenikmatan tidak membuatnya bertindak melampaui batas, memperbanyak
kerusakan, bersikap angkuh, dan sombong. Kefakiran dan kehilangan pun tidak
menjatuhkannya ke dalam kekafiran dan meninggalkan syukur. Akan tetapi, ia
tetap konsisten di dalam peribadahannya, tidak menyimpang dari jalannya yang
lurus dengan kelalaian ataupun sikap keter-laluan.
Disifatinya jiwa itu dengan
radhiyah (ridha), karena ketenangannya kepada Tuhannya mendatangkan
keridhaannya atas apa yang telah menjadi takdir dan qadha yang bersifat takwini
ataupun ketentuannya yang bersifat tasyni. Dengan demikian, bencana tidak
membuatnya marah dan kemaksiatan tidak membuatnya berpaling. Apabila hamba
ridha kepada Tuhannya maka Tuhan pun ridha kepadanya. Sebab, tidak ada yang
membuat Allah murka kecuali keluarnya hamba dari lingkup peribadahan. Apabila
ia teguh dijalan peribadahan, maka hal itu mendatangkan keridhaan Tuhannya.
Oleh karena itu, firman-Nya: radhiyah (ridha) diikuti dengan firman-Nya:
mardhiyyah (diridhai). Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jil. 20, hal.285
Ketika itu, hamba tersebut
berada di dalam kelompok hamba-hamba Allah yang ikhlas, yang diungkapkan dalam
Alquran: Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap
mereka, kecuali orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang sesat. QS
al-Hijr [15]: 42. Oleh karena itu, ia berhak memasuki surga yang dinisbahkan
pad diri-Nya, di mana Dia berfirman: "Masuklah ke dalam surga-Ku."
Surga tidak dinisbahkan kepada- Nya kecuali dalam ayat ini. Hal itu menunjukkan
penghargaan khusus dan kedudukan yang dikhususkan bagi mereka.
Maula an-Naraqi, dalam Jami’
as-Saadat, mengomentari tingkatan jiwa manusia ini dengan mengatakan,
"Yang benar, hal itu merupakan tiga sifat bagi jiwa berdasarkan
keadaan-keadaannya yang berbeda-beda. Apabila kekuatan 'aqilah-nya. mengalahkan
tiga sifat itu sehingga ketiganya tunduk padanya dan goncangan yang muncul
akibat perlawanan itu hilang, maka ia dinamakan muthma'innah karena
ketenangannya ketika berada itu di bawah perintah-perintah dan
larangan-larangan serta kecenderungannya pada keharmonisan yang dituntut
wataknya. Apabila jiwa tidak dapat mengalahkannya dan terjadi pertentangan dan
saling penolakan dengan sifat-sifat itu serta setiap saat dikalahkan dengan
perbuatan kemaksiatan dan muncul celaan dan penyesalan padanya, maka ia
dinamakan lawwamah. Hal itu karena ketika kekuatan 'aqilah- nya melemah dan
tunduk pada kekuatan-kekuatan setan tanpa perlawanan, maka ia seakan-akan
memerintahkan pada kejahatan (al-ammarah bi as-su'- Jami’as-Sa’adat, cet.
Mu’assasah al-A’lami, jil.1.
No comments:
Post a Comment