KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
( K P K )
Kelompok :
Ø Evan Primus Qomara (09)
Ø Hazlia Ayu Esfandiari (10)
Ø Isti Muhidayatun (12)
Ø M. Galih Fatkhi R. (14)
Ø Marosyana Ayu Febriani (16)
Ø Masrukhin (17)
Ø Misykahtun Nabilah Y. (18)
Ø M. Shoqi Mualif (22)
Ø Sinta Ristianti (32)
KORUPSI
Kata korupsi berasal dari bahasa latin, yaitu
corruption. Artinya, busuk atau rusak. Pengertian Korupsi menurut Transparency
International adalah perilaku pejabat public, baik politisi maupun pegawai
negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya
mereka yang dekat dengannya dan menyalahgunakankekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka. Dalam arti luas, korupsi atau korupsi politis
adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk kepentingan dan keuntungan
pribadi.Perbuatan korupsi mancakup unsur-unsur pelanggaran yang berlaku,
penyalahgunaan wewenang, merugikan Negara, dan memperkaya pribadi/diri
sendiri.Ujung dari korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, tidak ada basa-basi atau pura-pura bertindak
jujur.
Klasifikasi
perbuatan korupsi dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi.
Perbuatan Tindak Pidana Korupsi
|
Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak
Pidana Korupsi
|
1. Memperkaya diri
sendiri atau orang lain/korporasi sehingga menyebabkan kerugian keuangan
Negara.
2. Suap-menyuap.
3. Penggelapan dalam
jabatan.
4. Pemerasan.
5. Perbuatan curang.
6. Benturan kepentingan
dalam pengadaan.
7. Gratifikasi
|
1. Merintangi proses
pemeriksaan perkara korupsi.
2. Tidak memberi
keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar.
3. Bank yang tidak
memberikan keterangan rekening tersangka.
4. Saksi atau ahli yang
tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu.
5. Orang yang memegang
rahasia jabatan tidak memberikan keterangan palsu.
6. Saksi yang membuka
identitas pelapor.
|
Menurut
perspektif hukum, perbuatan korupsi tindakan lain yang berkaitan dengan korupsi
tertuang pada UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
DAMPAK DARI KORUPSI
I.
Dalam dunia Politik, korupsi bisa
mempersulit demokrasi dan good governance. Korupsi dapat mengikis kemampuan
institusi pemerintah, seperti mengabaikan prosedur, penyedotan sumber daya, dan
mengangkat pejabat bukan karena prestasi.
II.
Korupsi bisa mempersulit
pembangunan ekonomi dan kualitas pelayanan.
III.
Korupsi di pemerintahan publik
dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam pelayanan masyarakat, sehingga timbul
distorsi (kekacaun) disektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke
proyek-proyek masyarakat. Artinya sogokan dan upah tersedia lebih banyak.
IV.
Pada system pengadilan korupsi
dapat menghentikan ketertiban hukum.
PENYEBAB TERJADINYA
KORUPSI
I.
Konsentrasi kekuasaan di pengambil
keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat.
II.
Kurangnya transparasi pada
pengambilan keputusan pemerintah.
III.
Kampanye-kampanye politik yang
mahal, lebih besar dari pendanaan politiknya.
IV.
Proyek yang melibatkan uang rakyat
dalam jumlah besar.
V.
Lingkungan yang tertutup, terbatas pada
kepentingan sendiri dan jaringan teman lama.
VI.
Lemahnya ketertiban hokum.
VII.
Lemahnya profesi hokum.
VIII.
Kurangnya kebebasan berpendapat
atau kebebasan media massa.
IX.
Gaji pegawai yang relative kecil.
X.
Rakyat yang tidak peduli, tidak
tertarik, atau mudah dibohongi.
XI.
Tidak ada control yang cukup untuk
mencegah penyuapan atau penyogokan.
DASAR HUKUM
PEMBERANTASAN KORUPSI
I.
Ketetapan MPR No. X/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan bebas KKN.
II.
UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
III.
UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas KKN.
IV.
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
V.
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
VI.
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPK).
VII.
UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang.
VIII.
Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 tentang tata
cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
IX.
Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005 tentang system
manajemen sumber daya manusia KPK.
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI di INDONESIA
Pada tahun 1960 negara
membentuk lembaga Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) sebagaimana dituangkan
dalam UU No. 49 tahun 1960.Tugas dan wewenang PUPN berpedoman pada hokum yang
telah ada dan menindak siapa pun yang dianggap telah melanggar hukum yang
menjadi kewenangannya, baik yang terjadi sebelum maupun sesudah tahun 1960.
Dengan diundangkannya UU No. 3 Tahun 1971 maka untuk menindak pelaku-pelaku
tindak pidana korupsi (tipikor) mulai merujuk pada hokum acara pidana sebagai
rambu-rambunya dan memberi wewenang, kejaksaan untuk menyelidiki, menyidik dan
menuntut pelaku.Meskipum Negara telah berupaya menjerat pelaku tipikor, namun
koruptor mampu memosisikan dirinya sebagai pribadi yang tidak dapat di sentuh
hokum. Maka Negara membentuk lembaga khusu yang independen sesuai ketentuan UU
No. 30 Tahun2002 dengan berpedoman pada UU No. 31 Tahun 1999 Juncto UU No. 20 Tahun 2001. Lembaga Negara
yang baru dan khusus menanganu tipikor tersebut dinamakan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi
KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi,
menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan
berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002
mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada periode 2006-2011 KPK
dipimpin bersama oleh 4 orang wakil ketuanya, yakni Chandra Marta Hamzah, Bibit
Samad Rianto, Mochammad Jasin, dan Hayono Umar, setelah Perpu Plt. KPK ditolak
oleh DPR. Pada 25 November 2010, M. Busyro Muqoddas terpilih menjadi ketua KPK
setelah melalui proses pemungutan suara oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Dilanjutkan lagi oleh Abraham Samad sejak 2011
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
1.Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
2.Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
3.Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi;
4.Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana
korupsi; dan
5.Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang :
1.Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi;
2.Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
3.Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan
tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
4.Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
5.Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan
tindak pidana korupsi.
Orde Lama
Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan
pemberantasan korupsi.Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan
Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran).Badan ini
dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor
M. Yamin dan Roeslan Abdulgani.Kepada Paran inilah semua pejabat harus
menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang
disediakan.Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat
itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin
pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak
diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden.Diimbuhi dengan
kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan
kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun
1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai
Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali
ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan
dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara
lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan,
seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya
menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang
efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil
menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar.Operasi Budhi ini
dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti
menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden
Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.
Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini,
pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat,
bahkan macet.
Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada
16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak
mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke
istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata
ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto
untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih
dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A.
Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV
Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil
temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris
oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian,
ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi
Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan
pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di
kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan
pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin
menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai
oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi
Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman.
Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari
anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya
dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib
serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN
sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi
terbaru yang masih eksis.
Daftar Ketua KPK
No.
|
Nama
|
Mulai Jabatan
|
Akhir Jabatan
|
1
|
Taufiequrachman Ruki
|
2003
|
2007
|
2
|
Antasari Azhar
|
2007
|
2009
|
3
|
2009
|
2010
|
|
4
|
2010
|
2011
|
|
5
|
2011
|
2015
|
KPK di bawah Taufiequrachman Ruki (2003-2007)
Pada
tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang
alumni Akademi Kepolisian (Akpol)
1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki,
KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan
institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean
governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia.
Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten
mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan
korupsi.
Taufiequrachman
juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus
melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin
sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi
masyarakat dan organisasi bisnis.
Pada
tahun 2007 Taufiequrachman Ruki digantikan oleh Antasari Azhar sebagai Ketua KPK. Sekarang
sejak Desember 2011, KPK diketuai oleh Abraham Samad
KPK di bawah Antasari Azhar (2007-2009)
Kontroversi Antasari Azhar saat menjabat sebagai Kepala
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (2000-2007) yang gagal mengeksekusi Tommy
Soeharto tidak menghalangi pengangkatannya menjadi Ketua KPK setelah berhasil
mengungguli calon lainnya yaitu Chandra M. Hamzah dengan
memperoleh 41 suara dalam pemungutan suara yang dilangsungkan Komisi III DPR. Kiprahnya
sebagai Ketua KPK antara lain menangkap Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta
Suryani dalam kaitan penyuapan kasus BLBI Syamsul Nursalim.
Kemudian juga penangkapan Al Amin Nur Nasution
dalam kasus persetujuan pelepasan kawasan Hutan
lindung Tanjung Pantai Air Telang, Sumatera
Selatan. Antasari juga berjasa menyeret Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI)
Aulia Tantowi Pohan yang juga merupakan besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
ke penjara atas kasus korupsi aliran dana BI. Statusnya sebagai tersangka dalam
kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4
Mei 2009 memberhentikan dari jabatannya sebagai ketua KPK.
KPK di bawah Tumpak Hatorangan
Panggabean (Pelaksana Tugas) (2009-2010)
Mantan Komisaris PT Pos Indonesia, Tumpak Hatorangan
Panggabean terpilih menjadi pelaksana tugas sementara Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)dan dilantik pada 6 Oktober 2009 oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono.Serta ditetapkan berdasarkan Perppu nomor 4 tahun 2009
yang diterbitkan pada 21 September 2009.Pengangkatannya dilakukan untuk mengisi
kekosongan pimpinan KPK setelah ketua KPK Antasari Azhar dinonaktifkan dan
diberhentikan akibat tersangkut kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.Dibawah
masanya memang KPK berhasil menetapkan bekas Menteri Sosial (Mensos)
Bachtiar Chamsyah sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan
mesin jahit dan impor sapi. Selain itu, KPK juga berhasil menetapkan Gubernur
Kepulauan Riau (Kepri), Ismet Abdullah sebagai tersangka kasus dugaan
korupsi pengadaan mobil kebakaran. Tapi beberapa kasus masih mandek
penanganannya, misalnya saja, kasus Bank Century, membuat penilaian bahwa
lembaga itu mulai melempem.Pada tanggal 15 Maret 2010 beliau diberhentikan
dengan Keppres No. 33/P/2010 karena perpu ditolak oleh DPR.
KPK di bawah Busyro Muqoddas
(2010-2011)
M. Busyro
Muqoddas, S.H, M.Hum dilantik dan diambil sumpah oleh Presiden RI
pada 20 Desember 2010
sebagai ketua KPK menggantikan Antasari
Azhar. Sebelumnya, Busyro merupakan ketua
merangkap anggota Komisi Yudisial RI periode 2005-2010. Pada saat sebagai ketua sangat sering mengkritik DPR
, yang terakhir terkait hedonisme para anggota DPR. Pada pemilihan pimpinan KPK
tanggal 2 Desember 2011 beliau "turun pangkat" menjadi waki ketua
KPK. Busyro hanya memperoleh 5 suara dibandingan Abraham Samad yang memperoleh
43 suara. Serah terima jabatan dan pelantikan akan dilaksanakan pada 17
Desember 2011.
Penanganan Kasus Korupsi oleh KPK
2011
- 11
Februari KPK menangkap Jaksa Dwi Seno
Widjanarko asal Kejaksaan Negeri Tangerang di kawasan Pondok Aren,
Bintaro, Tangerang. Dia diduga memeras Agus Suharto, pegawai BRI Unit
Juanda, Ciputat. Upaya pemerasan terhadap Agus suharto ini diduga terkait
dengan perkara penggelapan sertifikat di BRI cabang Juanda, Ciputat,
Tangerang Selatan yang ditangani Jaksa Seno. Atas perbuatannya, Seno
disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e Undang Undang No 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Korupsi.
- 4
Oktober KPK menahan FL (Bupati Nias
Selatan periode 2006 s.d. 2011) dalam
dugaan tindak pidana korupsi memberikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelanggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban.
- KPK
menetapkan Timas Ginting selaku pejabat pembuat komitmen di Direktorat
Jenderal Pembinaan Pengembangan Sarana dan Prasarana Kawasan Transmigrasi
(P2MKT) Kemenakertrans sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS),
kasus ini juga menyeret Muhammad Nazaruddin dan istrinya Neneng Sri
Wahyuni sebagai tersangka.
- 26
September Penyidik KPK menahan tersangka ME
(Bupati
Kabupaten
Seluma) dalam pengembangan penyidikan
dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah di Pemerintah Kabupaten
Seluma
No comments:
Post a Comment